Tentang Hidup
Saat aku membaca rangkaian kata di postingan saat menginjak usia dua puluh, membuatku bertanya-tanya, sudah berjalan sejauh apa sih aku? Kenapa aku merasa tidak ada perubahan berarti, karena aku di usia dua puluh masih sama dengan aku di usia dua puluh lima. Aku masih berkecamuk dengan pikiran-pikiran yang sama.
Ketika aku mengatakan duniaku sudah berhenti,
I really mean it. Waktu memang masih
terus berjalan, tapi aku berhenti. Seakan stuck
di satu momen, terdiam.
Aku membiarkan hidup berjalan dengan apa adanya, mengikuti
arus hari demi hari tanpa ada progress kehidupan yang menurutku signifikan.
Melihat orang lain yang sibuk membuka pintu demi pintu kehidupan tetap
membuatku bergeming. Apakah aku harus mengikuti jejak mereka? Apakah aku harus
mulai melangkah, berusaha sedikit lebih keras untuk kehidupan yang lebih baik?
Tapi kehidupan yang lebih baik itu seperti apa? Pada akhirnya… kehidupan ini
untuk apa? Sungguh, pemikiran ini terus menghantui dari dulu dan semakin
menguat sejak dua tahun belakangan ini. Apalagi sejak mengalami dua kehilangan
yang membuatku terus menerus mempertanyakan untuk apa dan kenapa tentang
kehidupan.
Rasanya kalau dipikir sedikit memprihatinkan. Meskipun
terkadang aku sibuk berdebat dengan diri, toh selama hidupku tidak mengganggu
ketentraman dan kenyamanan lingkungan bermasyarakat, apa salah dengan sikap dan
pemikiranku saat ini? Entahlah. Aku bermimpi untuk menjadi pribadi yang lebih
baik lagi, lebih berani untuk melangkah… aku pernah bermimpi untuk bisa berjalan
keluar dari tempurung kenyamanan. Tapi pada akhirnya aku hanya keluar dalam
beberapa langkah, hanya bertahan dalam beberapa tahun, kemudian aku kembali kepada kenyamanan yang sudah lama kubangun.
Mungkin aku hanya menutup mata. Pada kenyataannya bahwa aku
bisa berkuliah di salah satu kampus ternama di Indonesia, masih bisa lulus
dengan menyandang gelar cumlaude, masih
bisa mendapatkan pekerjaan pertama dengan gaji UMR, dan menjadi (calon) pelayan
masyarakat. Sangat wajar ketika aku masih mempertanyakan tentang kehidupan dan
mereka yang mendengar menanggapinya dengan, kenapa kamu masih cemas dengan
kehidupan kalau hidupmu sudah berjalan enak.
Sejujurnya juga apa yang aku jalani saat ini tidak seindah seperti stereotipe orang-orang di luar sana. Meskipun berkali-kali aku mengatakan kepada diri sendiri, tidak apa-apa namanya juga kehidupan yang tidak ada yang sempurna, tapi aku tetap merasa sedih ketika mereka selalu mengatakan kalau aku adalah such ungrateful brat.
Entah sejak kapan juga aku menjadi ketakutan tiap kali berinteraksi dengan orang, dalam hal ini di luar konteks profesionalisme kerja. Tentu saja, saat sedang bekerja aku dapat berinteraksi layaknya manusia normal apalagi pekerjaanku yang mengharuskan untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Tapi di luar konteks kerja, I am really getting worse with socializing. Sekedar berkomunikasi sederhana atau berbasi-basi pun aku tidak berani. Seakan aku sudah lupa bagaimana cara berkomunikasi layaknya manusia normal. Aku tidak berani untuk mereach out orang lain terlebih dahulu. Atau mungkin aku hanya pemalas saja jadi memilih untuk menghindari? Entahlah yang benar yang mana.
Tapi aku merasa baik-baik saja, setidaknya begitu sampai saat ini.
Tapi... iyakah?
Rasa-rasanya dunia menjadi semakin bising. Aku tidak tahu ada ketakutan yang seperti apa, namun langit abu-abu itu terkadang masih ada menyelimutiku. Bahkan untuk bermimpi akan kehidupan dengan komitmen serius layaknya manusia di seusiaku pun tidak berani. Having a good family, partner to share some stories… sure it sounds really great. Akan tetapi itu hanya sebatas angan-angan kosong yang muncul usai membaca fan fiksi atau kisah teman yang kemudian menguap begitu saja. It’s great but... I don’t know...
Aku tidak berani bermimpi.
Mungkin apa yang mereka katakan memang benar, padahal hidupku sudah enak tapi kenapa aku masih merasa cemas. Kenapa aku harus merasa takut untuk melakukan hal-hal normal layaknya manusia pada umumnya.
Mungkin pada akhirnya
aku memang hanya perlu untuk menjalani hidup dengan apa adanya, tanpa perlu
bermimpi dan bertingkah yang muluk-muluk. Mungkin aku hanya perlu menjadi manusia biasa.
Manusia biasa yang menjalani hidup yang biasa dengan cara yang biasa-biasa saja. Ordinary person living in mediocre life. I am already enough.
Or ...
please wake me up?
Ps.
Tulisan ini dituliskan tiap kali kepala dipenuhi dengan langit abu-abu.
Comments