Americano Coffee
Dingin.
Aku mempercepat langkahku, menyusuri gang kecil ini. Kegusaran ini telah membawaku pada tempat yang belum pernah kulewati. Bola kembarku bergerak menatap pemandangan asing di sekitar hingga akhirnya terpanah pada papan nama berwarna putih gading. Dengan tergesa—tak kuat menahan dingin—aku setengah berlari mendekati bangunan yang terlihat kusam itu. Berharap bisa menemukan ketenangan di sana.
Bangunan itu, jika dilihat dari luar, tidak bisa disebut café sebenarnya. Hanyalah bangunan yang didominasi dengan warna krem dan putih. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah café adalah papan namanya. Aku yang suka berkunjung dari café ke café hanya untuk mencicipi black coffee, merasa bahwa ini pertama kalinya aku menemukan café dengan interior yang terlihat sederhana seperti ini. Kesederhanaan yang dicerminkan café ini… mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang harusnya segera kulupakan.
Begitu di dalam dan melihat-lihat sebentar, aku memilih untuk duduk di sofa yang terletak di sebelah jendela di lantai dua, dengan pemandangan jalanan depan. Tanpa melihat menu, aku langsung memesan segelas kopi amerikano panas. Salah satu kopi faforitku karena kepahitannya. Sudah lama aku tidak meminum kopi itu. Sudah lama...
Begitu di dalam dan melihat-lihat sebentar, aku memilih untuk duduk di sofa yang terletak di sebelah jendela di lantai dua, dengan pemandangan jalanan depan. Tanpa melihat menu, aku langsung memesan segelas kopi amerikano panas. Salah satu kopi faforitku karena kepahitannya. Sudah lama aku tidak meminum kopi itu. Sudah lama...
Sembari menunggu pesananku datang, pandanganku terlempar pada pemandangan di luar café. Terlihat beberapa orang berlalu lalang dengan wajah ceria, seolah menikmati awal musim dingin ini. Aku menopangkan daguku dengan badan setengah menghadap jendela. Suasana di café ini nyaman, dengan heater yang terdapat di beberapa tempat, menghangatkan kedinginan. Dan suasana seperti ini, justru mengingatkanku padamu…
I'm blankly staring at you, already that much farther away
Just because it seems like you will turn around
Just because it seems like you will turn around
Alunan musik instrumental terdengar, menghanyutkan indera pendengaran. Aku mencoba untuk mengfokuskan diri dengan mengeluarkan novel terjemahan cukup tebal dari dalam tas dan membacanya. Baru aku membaca beberapa kalimat, terdengar suara berisik dari arah pintu masuk. Sebenarnya itu wajar, karena banyak orang yang keluar – masuk café ini sambil berbincang-bincang dengan heboh. Tapi entah mengapa, dari suara-suara itu, aku mengenal suara yang tidak asing di telingaku. Suara yang aku rindukan. Aku mencoba untuk mendongakkan sedikit wajahku. Dengan sedikit berharap, yang aku pikirkan saat ini tidak terjadi.
Bola mataku terbelalak. Menatap sosok yang baru saja lewat dihadapanku. Menaiki tangga bersama beberapa kawannya sambil bersenda gurau. Hanya dengan mendengar suaranya saja, aku bisa yakin jika benar sosok itu yang datang. Entah disebut aku sedang beruntung atau sial, sosok itu tidak melihatku sama sekali. Mungkin karena sebagian wajahku tertutupi oleh rambut panjangku yang terurai atau karena ia terlalu fokus bersama temannya? Entahlah. Dia, bersama kawan-kawannya, memilih untuk memasuki ruangan dekat tangga. Dari posisiku ini, aku bisa melihat sedikit bagian dalam ruangan itu. Termasuk melihatnya.
Terpaku.
If I cry now, it will really seem like a break up
So I'm pretending to be calm and letting you go
So I'm pretending to be calm and letting you go
Aku menatapnya dengan kosong. Posisi duduknya membelakangiku, tetapi sedikit miring, sehingga aku bisa menatap separuh wajahnya. Dengan posisi seperti itu, besar kemungkinan dia akan melihatku. Nafasku tercekat. Aku bisa merasakan mataku memanas dengan genangan air yang siap tumpah. Seharusnya aku tidak boleh menangis.
“Satu hot americano coffee,”
Suara pelayan yang membawakan nampan berisi pesanan mampu mengalihkan perhatianku. Dengan kaku, aku menatap pelayan itu yang sedang menaruh nampan berisi segelas kopi amerikano dengan krim cair yang diletakkan di wadah berbentuk ember mungil, lalu botol kecil tanpa tutup dengan tanaman hijau menjulur keluar dari mulut botolnya, serta mangkuk kecil berisi brownies coklat. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala, bersikap sopan kepada pelayan itu. Sesaat setelah pelayan itu pergi, aku terdiam sejenak. Menatap cangkir itu dengan asap putih mengebul di atasnya. Tak ingin berlama, aku segera mengenggam cangkir itu dan menyesapnya pelan.
Pahit. Beginilah kopi amerikano.
Aku menyukai pahitnya kopi ini. Seolah mengingatkanku pada pahitnya kehidupan. Tapi, sepahit apapun, aku tetap menyukainya. Membuatku ingin terus menikmatinya, menyesapinya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya habis. Dan yang tersisa hanyalah kepahitan sesaat yang akan menghilang seiring berjalan waktu. Bukankah hidup juga seperti itu? Pahit awalnya, namun kelamaan pahit itu juga akan hilang.
Menyesap kopi pahit. Dengan suasana tenang. Sembari menatap separuh wajahmu. Membuatku terbawa ke memori masa lalu. Di mana saat kita masih berbagi suka-duka bersama.
***
It used to be good, it used to be good
We were happy to the point of tears
We were happy to the point of tears
Aku mengenalmu. Dua tahun yang lalu. Pada pertemuan yang tidak disengaja. Namun, pertemuan tak disengaja itu justru mendekatkan kita, hingga dua tahun lamanya. Dua tahun, bukanlah waktu yang cukup singkat untuk dua orang saling mengenal. Iyakan?
Aku menyukai saat-saat bersamamu. Kita selalu tertawa bersama—bahkan sampai menangis karena tertawa saking hebohnya. Kita saling menyemangati satu sama lain agar tidak pernah putus asa. Atau terkadang saat kamu yang mencoba untuk menghiburku di saatku sedih. Kita juga dekat karena kesukaan kita meminum black coffee, terutama Americano, dan mengunjungi berbagai coffee shop untuk mengicip kopi amerikano buatan mereka. Kita benar-benar bahagia saat itu. Dan terkadang, dibalik kebahagiaan itu, aku berharap kita bisa lebih dari ini.
We used to love, we used to love
You wanted me crazily
Tapi, apakah dua tahun itu bisa menjamin segalanya? Tidak. Sepertinya.
I can't believe you turned around right now
Dan, saat itulah aku menatap kepergiannya. Ia menghilang. Pergi begitu saja tanpa kabar yang jelas dan pasti. Setelah sempat beberapa bulan sebelumnya dirinya datang – pergi, akhirnya memutuskan untuk benar-benar pergi—menghilang. Entah alasan apa yang akan diutarakannya jika nanti aku datang menemuinya dan meminta penjelasan. Tapi, pada akhirnya aku memilih untuk tidak ingin mengetahui alasannya.
I was blankly staring at you, so far away
I thought you would turn around
I hated myself for crying like this
So I want to go back in time when I didn't know you
Padahal, sejujurnya saja, aku tahu dia ada di mana. Aku terkadang masih mengamati gerak-geriknya dari jauh. Sedikit berharap dia akan menoleh, melihatku, dan kembali. Namun pada akhirnya pula, aku mencoba menerima kenyataan, bahwa dia mungkin memang ingin pergi jauh dariku. Karena selama ia pergi, ia tidak pernah mencoba untuk menghubungiku. Bahkan dari gerak-geriknya selama ini, tidak terlihat tanda-tanda ia sedih, kesepian, atau apalah. Dia bahkan tidak pernah menyadari keberadaanku yang terkadang berada di dekatnya. Mungkin itu memang sudah jadi tujuannya. Sedangkan aku hanya bisa menatapnya. Terkadang menangisinya. Dengan sedikit berharap kalau saja… aku tidak pernah mengenalnya.
Tapi kenyataan selalu berkata lain. Aku masih saja merindunya.
Now I see you so far away
Don't just leave me, who hasn't moved a single footstep
Come back to me, turn around just once
Don't just leave me, who hasn't moved a single footstep
Come back to me, turn around just once
***
Aku menyesap kembali kopi itu. Entah kenapa, kopi itu makin terasa pahit seiring aku mencoba memutar kembali memori itu. Aku mencoba untuk mengigit brownies coklat yang disediakan. Bahkan brownies inipun juga terasa pahit. Kenapa harus pahit? Apakah semuanya ingin bersekongkol dengan hatiku yang makin pedih mengingat semuanya?
Aku menghelakan nafas dan memejamkan mataku sembari terus menyesapi kopinya. Benar-benar tenang dan hangat. Perasaanku yang tadinya gundah melebur dengan alunan musik instrumental bernada lembut, bincang-bincang pengunjung lain, bahkan tanganku yang hangat karena genggaman cangkir. Aku menarik nafas perlahan. Suasana seperti inilah yang kubutuhkan.
Setelah cukup lama berdiam diri, menikmati suasana sekitar dengan berusaha fokus, tidak memikirkan hal lain selain suasana yang tentram ini, aku membuka mataku perlahan. Kopi di cangkir putih gading itupun telah habis. Sudah tidak ada kepahitan lagi.
Aku bangkit dari dudukku. Sesaat, aku terpaku menatap cangkir yang tadinya penuh dengan cairan berwarna pekat dan sekarang sudah bersih, bahkan terlihat dasar cangkir yang berwarna putih gading. Ya, aku sudah menyesap semua kepahitan yang ada. Tadi, aku meminum kopi pahit dengan perasaan yang tak kalah pahit. Dan saat nanti rasa pahit di mulutku menghilang—seperti yang aku bilang tadi, perasaanku yang tadi juga pahit pasti akan menghilang juga. Aku yakin. Saat aku hendak melangkah, meninggalkan meja, aku melihatnya membalikkan badan. Dan saat itu juga pandangan kita bertemu.
Dia terpanah sesaat menatapku. Matanya yang sipit terbelalak—membuatku ingin tertawa kecil karena lucu sekali ekspresinya. Aku yang melihatnya hanya berusaha tersenyum manis. Tanpa melihatnya dan menunggu reaksinya, aku segera berjalan menuju kasir, membayar semuanya, dan keluar dari café ini.
Di sini. Di café ini.
Aku memang baru pertama kali ke sini. Tapi aku memutuskan untuk menjadikannya tempat bersejarah dalam hidupku. Aku berusaha untuk merelakannya di tempat ini. Biarkan café itu menjadi saksi bisu bagaimana aku merelakannya pergi.
Our beautiful memories are now flowing down my two cheeks
Tears are coming down
I guess I need to let you go now
Tears are coming down
I guess I need to let you go now
Tepat saat aku menutup pintu café itu dan melangkah keluar. Bersamaan dengan air mataku yang akhirnya meleleh dan jatuh membasahi tanah. Biarkan ini menjadi yang terakhir.
Meracau. Seperti biasa.
Enggak tahu kenapa, tau-tau muncul mood buat nulis kayak beginian. Random banget yah. Entah ini termasuk apa. Cerpen kayaknya bukan deh:| Curahan hati, mungkin. Yang dirangkai dengan kata-kata biar tidak terkesan tersurat. Biarkan tersirat dengan meresapi kata-katanya. LOL. Ngaco ah-_____-
Gara-gara nulis ini jadi ngidam pingin minum kopi amerikano:| Tapi minumnya di Café Spring Come, Rain Fall juga. Biar dapet feelnya, haha :D
Baru kali ini juga nulis iseng-iseng sampe bela-belain riset ngeliatin café di KorSel terus nyari tau tentang amerikano di mbah gugel dengan keywordnya pake hangul, haha. Sampe ngiler-ngiler liat menu yang ada di cafénya. Beliin eommaaaaaaaaa~~ *digeplak*
Baru kali ini juga nulis iseng-iseng sampe bela-belain riset ngeliatin café di KorSel terus nyari tau tentang amerikano di mbah gugel dengan keywordnya pake hangul, haha. Sampe ngiler-ngiler liat menu yang ada di cafénya. Beliin eommaaaaaaaaa~~ *digeplak*
Inspirasi cerita:
miss A – Blankly (멍하니).
WGM TeukSora, entah episode berapa:| yang pas bagian Sora mau ke Busan dan sebelumnya minum kopi dulu itu lho. Episode 5, mungkin.
cerita-cerita di blognya orang tentang kopi amerikano, suasana di Spring café dan Hyoja-ro.
postingan blognya ichariksa yang entah kenapa membangkitkan semangat pingin nulis
dan sedikit pengalaman pribadi (mungkin cuma beberapa persen aja-____-).
miss A – Blankly (멍하니).
WGM TeukSora, entah episode berapa:| yang pas bagian Sora mau ke Busan dan sebelumnya minum kopi dulu itu lho. Episode 5, mungkin.
cerita-cerita di blognya orang tentang kopi amerikano, suasana di Spring café dan Hyoja-ro.
postingan blognya ichariksa yang entah kenapa membangkitkan semangat pingin nulis
dan sedikit pengalaman pribadi (mungkin cuma beberapa persen aja-____-).
Lalu diberi bumbu imajinasi dan khayalan, jadilah seperti ini. Taraaaa~~~
Salam galau,
photos credit to naver
ETA(1129): sedikit penambahan di beberapa paragraf, entah deh buat apa-___-
ETA(1129): sedikit penambahan di beberapa paragraf, entah deh buat apa-___-
Comments