Short Escape : Bandung
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” – Pidi Baiq
Bandung adalah kota yang aku impikan sejak menduduki bangku SMP. Don’t ask me why, karena aku juga enggak tahu kenapa rasanya dahulu begitu mencintai Bandung, ingin sekali bisa berkunjung atau bahkan tinggal sementara di sana—padahal belum pernah menjejakkan kaki. Keinginan itu sempat terlupakan saat mendapat kesempatan merantau di Kota Pelajar—yang sesungguhnya tidak kalah magis dari Bandung. Setelah sempat terkubur, keinginan yang tersimpan rapi itupun perlahan muncul kembali setelah mendengar cerita-cerita dari teman akan Bandung, mengingatkan akan keinginan lawas itu.
Pokoknya harus bisa jalan ke Bandung sebelum KKN!
Sesederhana itu untuk memaksa diri memulai perjalanan ini.
Dan akhirnya, hari Kamis, 11 Mei 2017 menjadi awal cerita dari pengalaman baru sekaligus pencapaian keinginan yang terpendam lama. Jalan-jalan ke Bandung, untuk pertama kalinya. Pergi travelling ke luar kota, untuk pertama kalinya. Dan travelling sendirian—literally sendirian, untuk pertama kalinya. Berbekal tiket kereta api pulang pergi Kahuripan, Lempuyangan – Kiaracondong, reservasi hostel di daerah Riau, dan itinerary seadanya untuk perjalanan dua hari semalam serta how to get there dan harga tiket destinasi wisata... perjalanan pun dimulai.
Jam menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit ketika kereta Kahuripan akhirnya berhenti di stasiun terakhir, Kiaracondong—sedikit molor dari jadwal. Setelah mengantri lama di toilet, kemudian menanyakan kepada petugas stasiun arah ke Terminal Leuwi Panjang—naik angkot nomer delapan neng warnanya ijo muda, kaki pun melangkah keluar dari stasiun. Bersiap menuju destinasi pertama, Kawah Putih Ciwidey.
First impression. Oh, jadi ini tho Bandung. Jadi ngerasain nih gimana rasanya temen-temen luar pulau yang ngerantau di Jogja, asing sama bahasanya. (ketawa sampe Korea)
Setelah menunaikan ibadah sholat Subuh di musola terdekat, langsung saja mencari angkot sesuai dengan petunjuk akang petugas stasiun. Nomer delapan. Warna hijau muda. Lucky me, kebetulan ada satu angkot yang lagi ngetem di depan stasiun dan langsung aja masuk ke dalam. Surprise, ternyata bapak sopirnya orang Jawa dan akhirnya beliau cerita panjang lebar selama ngetem tentang kehidupannya pakai bahasa Jawa.
Hal yang aku pelajari setelah belajar dari puluhan blog yang menceritakan tentang pengalaman jalan-jalan sendirian terutama jika naik transportasi umum (kayak angkot, misalnya) adalah tanyakan ke penduduk lokal, sebanyak mungkin, dan penumpang yang barengan untuk rute dan ongkos angkot. Kebetulan, gak lama ada seorang yang naik angkot, menuju arah yang sama ke Leuwi Panjang dan tanpa basa-basi langsung tanya ongkos ke sana. Sepuluh ribu, katanya. Oke sip, sama kayak info yang didapet di internet.
Setelah ngetem agak lama, angkotpun mulai membelah jalanan dan mengangkut serta menurunkan satu persatu penumpang di pinggir jalan. Excited rasanya ngelihat jalanan sampai enggak sadar angkot berhenti di pinggir jalan dan semua penumpang yang tersisa turun. Lho, udah nyampe? Sambil melongo ngeliatin penumpang yang turun, mau enggak mau ikutan turun dengan masih masang wajah cengo. Kirain bakal diturunin di dalem terminal, enggak ya? Mungkin raut wajah bingung yang spontan udah menggambarkan jelas kata-kata dalam hati itu pas ngasi uang ke bapak angkotnya.
“Mbaknya mau ke Ciwidey kan? Naik lagi aja, Mbak,
And I was like, “Hah, naik lagi, Pak?”
“Iya, naik aja”
Dan kaki ini pun kembali menaiki angkot, masih dengan wajah cengo.
“Turun di perempatan di depan aja, Mbak. Nanti nyebrang, banyak yang ngetem kok di sana. Cari L300 ya,” kata si Bapak sambil nyetir angkotnya lagi. Di situ ngerasa, lucky me ketemu orang baik. Begitu sampai di perempatan (yang beneran diberhentiin di tengah jalan, bukan di pinggir) langsung ngebayar dan lompat turun. Bapaknya juga ga berhenti bilang, “Mbak, L300 ya!” Siap, Pak. Noted.
Comments